POSTINGAN

Perbandingan Arsitektur Model Reference Adaptive Control (MRAC)

Saat AI Masuk Kurikulum, Siapa yang Sebenarnya Sedang Belajar?

  

Esensi ai

Oleh: [Ijaj Maolana]

Tahun ajaran baru membawa kabar menarik: kurikulum kecerdasan buatan (AI) akan resmi masuk dalam sistem pendidikan. Langkah ini patut diapresiasi sebagai bagian dari kesiapan bangsa menghadapi masa depan digital. Namun, di balik semangat kemajuan itu, terselip satu pertanyaan filosofis yang layak direnungkan: apakah kita yang sedang belajar tentang AI, atau justru AI yang diam-diam sedang mempelajari kita?

Kita tahu bahwa manusia menciptakan AI untuk meniru kecerdasan dan perilaku manusia. Kita melatihnya dengan data, kita arahkan dengan algoritma, dan kita harapkan bisa membantu menyelesaikan masalah kompleks. Tapi di balik layar, AI juga mengamati, mengkaji, bahkan mengenali siapa kita lebih dalam dari yang kita sadari. Ia belajar dari jejak digital yang kita tinggalkan—dari klik, pencarian, hingga percakapan pribadi.

Ini menjadi paradoks zaman kita: manusia yang menciptakan AI, kini justru mulai dibentuk oleh AI. Algoritma menentukan berita apa yang kita baca, produk apa yang kita beli, bahkan nilai-nilai apa yang cenderung kita percaya. Kita bukan lagi sekadar pengguna, tapi juga menjadi objek dari sistem yang kita rancang sendiri.

Inilah yang harus menjadi titik waspada dalam era baru ini. Pendidikan AI bukan hanya soal bagaimana menguasai teknologi, tetapi juga bagaimana menjaga kendali, kesadaran, dan kemanusiaan kita. Kita harus membekali generasi muda tidak hanya dengan keterampilan teknis, tapi juga dengan etika, empati, dan kemampuan berpikir kritis.

AI tidak punya nurani. Ia tidak mengenal keadilan, kebenaran, atau kasih sayang—kecuali sejauh yang ditanamkan oleh manusia. Maka tugas kitalah untuk memastikan bahwa nilai-nilai itu tidak hilang dalam arus kemajuan. Pendidikan AI harus mengajarkan dua hal: bagaimana membangun kecerdasan buatan, dan bagaimana tetap menjadi manusia yang utuh.

Karena pada akhirnya, pertanyaannya bukan lagi “siapa yang lebih pintar”, tetapi “siapa yang lebih bermakna”.

Komentar